-->

Wednesday 8 October 2014

9 OKTOBER 1740 PEMBANTAIAN TERBESAR ETNIS TIONGHOA DALAM SEJARAH INDONESIA


Geger Pacinan (juga dikenal sebagai Tragedi Angke; dalam bahasa BelandaChinezenmoord, yang berarti "Pembunuhan orang Tionghoa") merupakan sebuah pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan BataviaHindia Belanda(sekarang Jakarta). Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November tahun yang sama.

Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti; ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat. Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama dua tahun, dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda. Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini; Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai gubernur jenderal. Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam sastra Belanda. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta.

Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa, yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong,membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober. Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan. Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun. Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota; Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.

Pada tanggal 11 Oktober, Valckenier menyuruh para opsir Belanda untuk menghentikan penjarahan, tetapi tidak berhasil. Dua hari kemudian Dewan Hindia menentukan bahwa setiap orang yang membawa kepala orang Tionghoa akan dihargai dengan dua dukat; hal ini digunakan untuk memancing suku lain agar mereka ikut membantai orang Tionghoa. Akibatnya, orang Tionghoa yang selamat dari serangan pertama mulai diburu "bandit" yang menginginkan hadiah itu. Penguasa Belanda bekerja sama dengan kelompok pribumi di berbagai daerah di Batavia; grenadir Bugis dan Bali dikirim untuk memperkuat pasukan Belanda pada tanggal 14 Oktober. Pada tanggal 22 Oktober, Valckenier memerintahkan agar semua pembunuhan dihentikan. Dalam sehelai surat panjang yang berisi bahwa kesalahan sepenuhnya berada di tangan orang Tionghoa saat kerusuhan di Batavia, dia mengajak orang Tionghoa untuk berdamai, kecuali pemimpin pemberontakan; dia mengajukan penghargaan sebanyak 500 rijksdaalder untuk setiap pemimpin yang dibunuh.


No comments:

Post a Comment